Bersyukur sekali rasanya, kawan.
Kampus ini memberikan kita fasilitas yang serba digital, gedung yang megah dan
dilengkapi dengan wifi, perpustakaan yang luas, plus penantian meja dunia kerja
setelah kita lulus nanti. Gratis? Hebatnya adalah banyak mahasiswa di
perguruan tinggi lain harus berjuang keras meraih pendidikan yang sudah serba
mahal ini. Sedangkan di sini, UNDIP, dengan uang beasiswa 3 juta kurang
setengah orang tua kita tak perlu lagi melepas peluh dan penat terlalu banyak
karena kita disekolahkan (dibantu) oleh Negara.
Coba deh kita
hitung-hitung, jikalau kita tak berhasil sampai di sini, apa mungkin kita
sanggup kuliah di fakultas teknik, kedokteran atau fakultas lainnya yang kita mau?
Apa bisa kita sampai di kota lumpia ini, duduk manis di kelas memperhatikan
dosen mengajar tanpa mesti keteteran memikirkan biaya kuliah? Mari kita
andaikan jika kita kuliah di tempat lain.
Sedikitnya satu semester kita perlu dua juta, perbulannya kita perlu
uang makan dan sewa kos sekitar satu juta. Maka selama 18 bulan kuliah sudah hampir 25 juta biaya yang kita dihabiskan. Dan
orang tua kita harus mengeluarkan sebanyak itu. Kalau ada 8 semester yang akan
kita lewati artinya kita butuh 48 bulan, sedikitnya 60 juta yang harus ayah dan
ibu kita bayar. Sedangkan di sini, bisa dibilang banyak bantuan bagi
orang-orang pintar, kawan.
Kita jauh lebih beruntung
dibandingkan anak-anak jalanan yang harus menjadi pengamen, pengasong, atau
bahkan pengemis untuk hanya sekadar mencari seteguk air (apalagi sesuap nasi).
Dengan uang beasiswa sebanyak yang kita terima, apalah arti uang tiga ribu yang
senilai nasi uduk bagi kita. Itu sudah sangat berarti bagi orang-orang yang tak
seberuntung kita. Rasanya tak ada lagi alasan bagi kita untuk mengeluhkan
susahnya memahami Mattek, micro, atau Eldas di perkuliahan. Hehe.. maklum anak
siskom.
Lalu, siapa sih yang membawa
kita ke tahap ini? Tentu saja Tuhan Yang Maha Penyayang yang memberikan semua
kenikmatan hidup ini. Pertanyaannya, lewat siapa pertolongan itu disampaikan
pada kita? Sejak kapan kita bebas memilih dan meraih pendidikan? Pada siapa
kita harus berterima kasih?
Kita semua tahu, sekarang ini Hari Pendidikan
Nasional, tanggal 2 Mei. Maka apakah hari itu cukup hanya dengan diperingati
saja dengan upacara dan serangkaian acara? Tidak! Sungguh hari itu adalah salah
satu momen terpenting bangsa Indonesia yang sudah mulai mengangkat kembali
derajatnya melalui tangan-tangan Ki Hajar Dewantara dan pahlawan lainnya.
Tanpa Bapak Pendidikan kita itu, pendidikan di negeri ini tidak akan bisa
semaju sekarang. Tanpa jasa beliau, kita takkan mungkin melihat program-program
pemerintah yang memberi pendidikan dasar secara gratis, memberi bantuan ini dan
itu untuk pendidikan kita. Tanpa segala usaha dan semangat yang dicurahkan oleh
Bapak Pendidikan ini, rasanya takkan mungkin ada pelajar dari luar negeri masuk
ke sini.
Sekali lagi, apa cukup hari
pendidikan hanya untuk diperingati saja? Apakah arti 2 Mei 1889 itu hanya sebatas
tanggal kelahiran seorang Raden Mas Soewardi Soeryaningrat? Sekali lagi tidak.
Di zaman sekarang, telah banyak Dewantara-Dewantara lainnya yang berjuang keras
demi pendidikan kita. Kita lihat orang tua kita,
peluhnya tak pernah kering untuk membuat kita setidaknya tak harus berprofesi
lebih rendah dari ayah dan ibu kita. Kita lihat guru-guru kita,
berjuang mengajar kita dengan sabar untuk membantu kita menjadi generasi yang
terdidik dan terpelajar. Dosen-dosen kita di sini, meninggalkan anak-anak
mereka di rumah hanya untuk memberi kita ujian susulan, remedial, atau SP. Tidakkah
kita ingat, ayah menjual motornya untuk biaya kita terbang ke Semarang, dosen
memberi tugas untuk mendongkrak hasil kemalasan belajar kita?
Hebat
bukan? Semua itu mereka lakukan selalu, setiap hari, tanpa menunggu tanda
bintang melekat di bajunya sebagai tanda bahwa orang tua dan guru-guru kita
telah banyak sekali berjasa. Membuat kita tahu bagaimana rasanya sekolah di
bangunan ber-AC ini.
Lalu teman-teman, apakah yang
sudah kita coba berikan untuk orang tua, guru, atau paling tidak untuk diri
kita sendiri? Ingatkah kita setiap ada perapelan uang beasiswa, kita mengeluh
dan “pray for beasiswa”? Eh, giliran saat Kuis atau UAS ditunda, kita
kegirangan bukan main. Saat diminta menyisihkan sepuluh dua puluh ribu untuk
kegiatan kampus, mulut-mulut kita protes. Tapi, saat kita dibayar padahal hanya
untuk duduk mendengar dosen mengajar, kita masih saja merasa kurang.
Lalu dengan adanya peringatan
Hari Pendidikan Nasional yang ke-123 ini, apa kita masih sama? Masih suka
bermalas-malasan, menjadikan buku pajangan berdebu. Apa kita hanya akan begitu?
Padahal sudah banyak sekali yang dilakukan para pejuang pendidikan untuk kita,
terutama orang tua dan guru-guru kita. Apa yang bisa kita balas untuk mereka,
teman? Ada? Puaskah kita hanya dengan nilai C? Mana semangat kita, kawan?! Dulu
kita mendaftar di antara puluhan peserta SNMPTN dengan semangat api
membara—sampai hangus—demi membahagiakan orang tua kita dan menjadi anak yang berpendidikan.
Sudah
hilangkah diri kita yang dulu? Haruskah kita menunggu kita tiba di meja seminar
agar kita sadar apa yang seharusnya kita lakukan dari sekarang? Apa kita harus
selalu menunggu sang 2 Mei tiba? Tidak, teman. Hari untuk pendidikan itu adalah
setiap hari, tidak hanya saat menjelang UAS, tidak pula saat tiba tahun ajaran
baru. Tapi hari untuk belajar itu adalah setiap saat kita bernafas. Setiap kali
jantung kita berdetak lah kita menunjukkan rasa syukur kita pada Yang Esa dan
rasa terima kasih kita pada ayah, ibu, bapak dan ibu guru kita. Itu saja, kawan. Tak
perlu kita paksa saat dekat-dekat ujian. Setiap goresan pena kita adalah bentuk
semangat dan terima kasih kita.
Kita
tahu kita takkan bisa membalas jasa-jasa orang tua dan guru kita. Tapi setidaknya
kita akan terus berusaha untuk tidak mengecewakan mereka. Mari, kawan. Tak
pantas pula kita hanya menunggu sampai tiba HarDikNas untuk mengacungkan tangan ke
langit dan berteriak...
“AKU BISA!”
Karya : Merajut Kata
Ketika membaca artikel ini, saya teringat akan cerita seorang teman. Dia bercerita, dia datang ke Semarang untuk kuliah di UNDIP dengan izin kepada ayahnya untuk BELAJAR. Bukan hanya sekedar untuk kuliah kawan, tapi sekali lagi untuk BELAJAR. Begitu luas arti belajar yang dia pahami dan terbukti dia mampu mengamalkan, bahwa dalam hidup ini segala sesuatunya adalah belajar. Belajar mengatasi segala permasalahan. Belajar memahami berbagai macam perbedaan. Dan masih banyak lagi belajar yang lainnya karena ada atau tidaknya kita di UNDIP sekarang, faktanya kita ini sedang menimba ilmu di UNIVERSITAS KEHIDUPAN...
ReplyDelete